TELUK BINTUNI, Mangrove.id| KPU Teluk Bintuni menjalani sidang perkara dugaan pelanggaran kode etik yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Manokwari, Selasa (25/2).
Para teradu yakni: Ketua KPU Kabupaten Teluk Bintuni, Muhammad Makmur Memed Alfajri sebagai teradu I, Sekretaris KPU Kabupaten Teluk Bintuni, Syahid Bin Muzaat sebagai teradu II.
Kemudian, Anggota KPU Kabupaten Teluk Bintuni, Deni Dorinus Airory teradu III, Ansyar sebagai teradu IV, Eko Priyo Utomo sebagai teradu V, Kabag Digital dan Elektronik KPU Kabupaten Teluk Bintuni, Kenny R. A. Kendewara, dan staf digital dan elektronik, Yafet Janawa sebagai teradu VI dan VII.
Persidangan ini disambut baik Imanuel (Manu) Horna dan Bahmuddin Fimbay selaku pengadu, yang juga turut hadir dalam sidang tersebut.
Kepada wartawan, Rabu (26/2), ia menerangkan, hakikat persidangan ini, untuk mendapatkan keadilan atas perbuatan para teradu sehingga dirinya gagal maju sebagai salah satu kontestan Pilkada 2024 jalur independen.

Imanuel Horna (paling kanan) saat memberikan keterangan dalam sidang perkara dugaan pelanggaran kode etik yang digelar DKPP di Manokwari, Selasa.
“Pendaftaran dibuka tanggal 5 – 12 Mei 2024. Tapi, kami hanya punya waktu tiga hari, sebelum penutupan untuk melengkapi persyaratan. Sebab, kurangnya sosialisasi dari KPU,” ungkapnya.
Dengan waktu yang singkat itu, ia mengaku, pihaknya sangat kesulitan. Sebab, untuk menginput data (KTP elektronik) yang berjumlah 5.738 KTP, tidak mungkin bisa selesai dalam waktu tiga hari.
“Memang setelah itu, Bawaslu mengabulkan gugatan kami sehingga SILON kembali dibuka. Dan kami diizinkan untuk menginput data di rumah,” ungkapnya.
Proses pengisian data di rumah inilah, ia mengungkap, telah terjadi insiden yang mengakibatkan dirinya dan Bahmuddin Fimbay gagal maju.
Pasalnya, ada gangguan yang dilakukan sejumlah staf KPU Teluk Bintuni, sehingga waktu yang tersisa sekitar tiga jam sebelum pukul 23.59 WIT, tidak bisa dimanfaatkan dengan baik.
Saat persidangan, ia mengungkap, pihaknya telah menyampaikan kepada majelis hakim, bahwa kedatangan staf KPU ke rumahnya, karena mendapat perintah dari Sekretaris KPU Teluk Bintuni, Syahid Bin Muzaat.
Syahid dikatakan, tidak membantah anak buahnya ke rumah Imanuel Horna atas perintahnya. Namun, bukan untuk menghentikan proses penginputan data.
“Pada saat operator kami menginput data, beberapa staf datang ke rumah sekitar pukul 20.00 WIT. Mereka lalu menyuruh untuk submit data-data itu. Katanya sudah bisa, karena sudah sampai 5 ribu,” bebernya.
“Bayangkan, kami masukkan 6 ribu, setelah diverifikasi jadi turun 4 ribu. Andai saja waktu itu, kami masukkan 7 ribu, pasti bisa lolos. Tapi dengan insiden itu, data yang kami masukkan akhirnya tidak memenuhi syarat,” tambahnya.
Dalam persidangan ini, ia memaparkan kronologi ini yang diuraikan satu per satu, dengan disertai bukti-bukti autentik. Maka ia sangat optimis, majelis hakim akan memutus perkara ini dengan adil.
“Pada prinsipnya, dalam sidang itu kami tegaskan bahwa hak politik kami sebagaimana dijamin oleh konstitusi itu telah dirampas. Dan lebih dari itu, kami sebagai Orang Asli Papua 7 Suku yang punya hak, telah digagalkan dengan cara-cara yang tidak benar,” pungkasnya. (len)